Find Me On!

Facebook  Twitter  Instagram Gmail

Friday, December 20, 2013

Anterograde Tomorrow Indonesia Translate [PART 1]

PART 1

Untuk Prolog Bisa liat disini Prolog
Selamat Membaca :D


Kyungsoo mempunyai sebuah scrapbook yang berisi wajah-wajah dan tanggal-tanggal. Susunan Pollaroid dengan sedikit kalimat tertulis dibawahnya. Ini adalah Zitao, waiter Chinese baru yang melakukan tugas Rabu malam (6 Juni 2010); ini adalah Yifan model panggilan berpakaian biru dengan segelas wiski yang membosankan disetiap hari minggu (19 Desember 12009); Baekhyun ada disana, tapi dia telah pindah (6 Juli 2008). Itu adalah sebuah sinopsis dari Do Kyungsoo : para tetangga, para kenalan, teman lama, orang asing baru, ditampilkan dengan keseksamaan.

Dekat dengan akhir scrapbook itu ada sebuah gambar sosok seseorang ,yang tengah bersandar di atas tembok batu bata; dengan satu lutut ditekuk dan yang satunya menopang berat tubuhnya. Satu puntung rokok di jepit diantara jari-jari panjang dan kurus. Monokromatik abu-abu mati disekitar wajahnya. Asap rokok berwarna putih berputar dari ujung bibirnya, menghambur melewati rambut dan gerimis menjadi sebuah perasaan aneh dari kesunyian.

Dua kata tergores dibawah foto itu. Tetangga. Merokok.

--

Surat kabar bertanggalkan 12 Juli 2012. Tetapi lebih dari kenyataan Kyungsoo bersumpah bahwa kemarin baru saja tanggal 24 November 2008, bajunya terpampang seperempat di halaman depan. Baju kesukaannya. Yang ia dapat dari menjadi pegawai terbaik minggu-an , dibagian sebelahnya, jahitan tangan logo Pororo, terlihat jelas kebanggan besar disampul depan tersebut.

Dengan tergesa-gesa ia membaca sekilas sebuah headline “kekacauan besar-besaran di kota Seoul yang disebabkan oleh hujan uang’, lalu Kyungsoo fokus ke suatu gambar. Digambar itu terlihat baju yang bisa dipastikan adalah bajunya, yang ia gunakan tadi dan telah ia gulung dari kasur 20 menit yang lalu, pada kenyataan nya. Secara lebih tepatnya, baju yang ia tidak bisa ingat kapan ia gunakan di sebuah penthouse mahal, yang mana rupanya gambar itu diambil.

Artikel itu memuat, “Memandang novelist Kim Jongin baru saja dipercaya menjadi penyebab kekacauan umum, setelah secara harafiah ‘meniup sebuah-badai’ 100 ribu won keluar dari Seoul penthouse nya dengan seorang kaki tangan yang tak dikenal. Hal itu dinamakan sebagai sebuah ‘pameran-milyaran-won konfeti’, dia telah menyebabkan kemacetan lalu lintas terbesar dalam sejarah Seoul, secara efektif memblock jalan sampai jarak dua-kilometer dari penduduk kota yang berbondong-bondong untuk mengumpulkan uang.

Tetapi melihat Kyungsoo, seraya ia menyodorkan surat kabar itu ke arah wajah Minseok, “Surat kabar nasional sekarang ini menyuguhkan tipuan yang sangat panjang lebar—tapi dimana kira-kira mereka menemukan bajuku?”

Minseok mengerutkan dahinya ketika membaca artikel itu, dan juga terhadap Kyungsoo, lalu mengalihkan pandangan nya ke ujung bar. Kyungsoo terlalu sibuk membaca ulang artikel itu dan mengecek kembali baju nya untuk melihatnya, tetapi pada kenyataanya ada seseorang berpakaian rapi duduk di ujung penglihatan Minseok, seseorang yang menyembunyikan sebuah kegembiraan, memutar-mutar bibirnya di sebuah gelas yang berisi wiski.

--

Mereka bertemu untuk pertama kalinya, Kyungsoo Pikir, didalam lift apartement. Pada Jum’at pagi, 13 Juli, satu jam saat dunia berputar di atas cahaya lampu yang remang-remang, teriakan orang yang sedang mabuk, dan sesekali penuh dengan gelak tawa. Disana hanya ada mereka berdua dijam ini, dan sebuah kesunyian yang sangat terasa.

Baru saja balik dari bar, Kyungsoo mencoba ‘berperang’ dengan asap rokok dan wewangian alcohol yang sangat menyengat menyangkut di rambutnya. Ikal kecil terakhir saxophone mendekapan di jari tangannya dan dentuman cinquillo masih tertinggal dibawah kulitnya, tetapi tak seorangpun dari semua itu cukup untuk mengisi jurang yang sangat dalam yang berada diantara ia dan orang asing itu.

Orang asing itu, dengan sebatang rokok diantara giginya, berjalan duluan. Cahaya lift yang tak mengenakan menutupi nya di dalam perasan yang penuh prasangka dan kelesuan berat yang menyelubungi. Kyungsoo heran, dengan cinquillo berdentum ke dalam nadi nya, jika kulit laki-laki itu tampak seperti plastic seperti kelihatannya.

“Panas, cuacanya panas ya,” laki-laki itu berkata, ia lalu mengulurkan tangannya dan langsung Kyungsoo jabat dengan keraguan. Genggaman laki-laki itu secara mengejutkan dingin, jari tangan yang panjang, potongan kuku yang pendek dan tajam, kulit yang kasar meregang tegang dengan jemari yang kurus kering.

“Um.” Kyungsoo menjawab, segera setelah ia melihat orang asing itu sedang menatap rongga kedalam wajahnya.. Jabat tangan itu tiba-tiba terasa lebih kepada penilaian yang disengaja dari pada sebuah pertemuan yang tiba-tiba. Lebih menakutkan dari ketegangan dan lebih hebat dari kecanggungan.

Diantara bunyi reyot lift sedang turun dan percikan cahaya bola lampu yang berpendar, suara Kyungsoo keluar 2 nada lebih tinggi dari seharusnya seperti sebuah decitan, “Yeah. Malam ini panas.”

Orang asing itu tidak mengatakan apapun. Ia malah bersandar di dinding lift dan memandangi sosok Kyungsoo. Pandangan seperti itu yang membuat Kyungsoo takut dan bersembunyi didalam jaketnya, lapisan tipis cashmere dapat sedikitnya menutupi dirinya dari pandangan yang mendalam orang lain. Waktu berjalan seperti itu didalam lift, hingga pintu terbuka, saat Kyungsoo menghembuskan nafas yang ia tidak tau bahwa dia telah menahan nya sesaat.

Hanya lalu, setelah Kyungsoo keluar dari lift, ia berjalan kebawah koridor apartemen dan menyadari bahwa orang asing itu berjalan dengan lambat dibelakangnya, apakah ia menyadari bahwa ini mungkin bukan pertama kalinya mereka bertemu.

“Apakah saya mengenal mu di suatu tempat?” Akhirnya ia bertanya, suara bergaung secara tidak mudah keluar, dan terdengar di gang masuk yang panjang itu. Orang asing itu kini berhenti di pintu samping apartemen Kyungsoo, memutar-mutar sebuah kunci di antara jari telunjuk nya. sedikit cahaya bulan masuk ke dalam melwati sela-sela tangga dan sinar redup berasal dari sesuatu di pakaiannya. Kyungsoo memerhatikan sepasang kancing dipergelangan tangan kemeja orang itu, penampilan yang berkilau dan mahal, bahkan penampilannya terlalu mahal untuk seseorang yang tinggal di lingkungan seperti ini.

“Menurutmu?” Bibir orang asing itu berubah menjadi sebuah senyuman menyeringai.

Kyungsoo mengambil kain tiras didalam saku nya. Dia tidak ingat wajah orang asing itu saat ia melihat ulang buku kenangan nya tadi pagi. Tetapi mungkin ia melewati satu halaman. Itu pernah terjadi sebelumnya. Kemudian dengan tergopoh-gopoh ia mengambil tas, dan ia berhenti karena sebuah suara tawa yang keras, “Jadi kau tidak bercanda soal amnesia itu.”

“apa?”

“Menarik, Hebat. Sungguh. Apa hal terakhir yang kamu lakukan yang kamu ingat?” Orang asing itu memotong, dengan tidak jelas seraya ia masuk ke kamarnya dan menyalami. Sedangkan Kyungsoo sibuk mencari kunci apartemen nya.

Bahkan di kegelapan, kelap kelip cahaya dari kegembiraan yang mengerikan bersinar dari seringainya dengan jelas. Itu membuatnya terlihat lebih tua dari ia kelihatannya, hampir sangat menyedihkan .

Kyungsoo berpikir terlalu keras sampai ia lupa untuk menjawab, dan dengan berjalannya waktu ia berbalik lagi, dan orang asing itu telah pergi.

--

Mereka bertemu lagi untuk pertama kalinya di tangga. Matahari menyengat di hari senin. Sebuah hembusan angin yang keras dari musim panas meniup jauh cahaya terakhir dari sinar bulan. Kyungsoo terburu-buru turun kebawah untuk pergi bekerja di toko dan laki-laki dengan sebuah rokok diantara bibirnya berjalan keatas menaiki anak tangga. Mereka berpapasan, dan mungkin bahu mereka saling bersentuhan, dan itu cukup membuat kyungsoo terdiam setengah langkah.

Tetapi laki-laki itu tidak meluangkan waktu sedetikpun untuk menyadari atas pandangan Kyungsoo yang sedang keheranan itu. Dia dengan santai terus menaiki anak tangga, mengeluarkan bunyi layaknya orang yang sedang sesak napas dan terengah, wajah pucat penuh dengan keringat. Kyungsoo melihat kaki laki-laki itu gemetar dan tertatih disetiap langkahnya, seperti kaki itu tidak lagi cukup kuat untuk menopang beban yang sangat besar yang tidak kelihatan diatas pundaknya. Sepertinya laki-laki itu gemetar dan akan jatuh hanya dengan gelitikan angin sepoi-sepoi. Hal itu hampir menyesakkan nafas dan menunjukkan seberapa rusak tampilan belakangnya dari sisi ini, semua tenunan kain runtuh oleh helai tulang-tulang, sisi yang kuat dan bentuk yang kurus. Setengah dari pemikiran terlewati untuk barangkali mengambil foto laki-laki itu, lagipula Kyungsoo tidak tahu apa nama yang ia mau berikan jika ia mengambil foto laki-laki itu, dan ditambah ia terlambat berangkat kerja, jadi ia pun bergegas pergi.

Bagi Kyungsoo, musim panas di pinggiran kota Seoul dibuat dari suara-suara yang bernada sedang menyusup kedalam malam hari, kotak-kotak kardus dari kelebihan mainan terseret melewati alat pembawa barang, es buncis merah dan surat kabar yang lecek dibawah petang yang sangat hangat. Banyak catatan di scrapbooknya sekarang. Hidupnya beregelut dengan kolom catatan hitam; Hubungan Zitao dan Yifan sekarang lebih dari sekedar teman, Minseok telah menemukan lagu baru; ada sesosok orang asing tinggal di apartemen yang kosong disebelah kanan apartemen nya, dan mungkin mereka pernah berbicara sebelumnya.

--

Mereka bertemu untuk terakhir kalinya dari waktu pertama ketika Kyungsoo membuka pintu dan betemu tatap muka dengan pupil yang sangat besar dan meluas.

“Hai.” Laki-laki itu menyeringai, rokok menempel di sudut mulutnya, “Nama saya Jongin. Saya seorang penulis. Novelis. Saya pindah ke apartemen disebelah mu satu minggu yang lalu. Demi inspirasi, keterampilan seniman, menemukan hidup dalam kemiskinan, menghindar dari gerombolan pers di tempat biasa saya, begitulah. Intinya adalah: Kita pernah berbicara sebelumnya. Dua kali.”

“Oh,” Kyungsoo menjawab seperti biasanya, “Maaf— saya mempunyai anterograde amnesia, jadi—“

“Kau tidak mengingatku. Aku tahu itu. Kau lupa segalanya di setiap akhir harimu, jadi kau tidak akan mengingatku besok.”

Jongin melangkah mundur, menyalakan korek apinya kearah rokok, mengambil tarikan dalam-dalam, dan membiarkan asap rokok yang pekat itu menyembur keluar dari mulutnya, “Anyways. dengarkan. Aku harus mendapatkan sebuah naskah yang nanti akan ku berikan ke editorku. —Oh Sehun— Jika kau sudah mengenal dia, kau akan mengetahui seberapa brengsek dia. Tapi intinya adalah: Jika aku tidak menghasilkan sesuatu dalam sebulan dia akan mengomeliku layaknya orang brengsek yang baik—dan, terus terang saja, aku sama sekali tidak punya ide. Tapi sebenarnya tidak juga sih, aku mempunyai suatu ide. Dan Ide itu menyertakan….”

Orang asing itu tidak langsung mengakhiri pembicaraan nya, sampai akhirnya Kyungsoo batuk karena asap rokok, yang ia sadari bahwa ia tidak bernafas untuk beberapa detik, “Um, ya, menyertakan apa?

“Kau.” Jongin tersenyum.

Satu hal tentang Senyuman Jongin itu bahwa hanya mulutnya yang bergerak keatas, jadi semua yang Kyungsoo lihat adalah sebuah potret indah dari kaos putih berkanji yang mahal dan seringai penuh kesengsaraan. Sama sekali penuh dengan penderitaan terbungkus dalam gigi dan batas kedua matanya. Kata sifat paling indah untuk mengakhiri sebuah jiwa yang ditinggalkan, julukan yang paling lembut untuk menandai sebuah hati yang tertutup

Kyungsoo menulis di hasil foto Polaroid yang ia ambil dengan jongin malam itu. Ini adalah Jongin, tetangga baru, novelis, senyum menyedihkan (17 Juli 2012). Kita akan melakukan wawancara. Dia ingin menulis sebuah buku tentangku.

--

Selama makan malam dihari rabu, Kyungsoo mengatakan meskipun kegiatan sehari-harinya sangat sederhana dan berulang, itu adalah jalan yang terbaik untuknya. Ingatannya tidak cukup lama bagi ia untuk bisa menyimpan perubahan jangka panjang dan itu tidak seperti ia bisa kelelahan karena melakukan sesuatu yang ia tidak ingat, dibanyak hal.

“Jadi apa yang kamu lakukan?” Jongin memotong pembicaraan, sebuah pulpen diselipkan dibelakang daun telinganya dan yang satunya berada diantara jari tangannya.

Kyungsoo bilang kalau ia bekerja di pabrik mainan disebelah apartemennya dari jam 9 pagi hingga 5 sore, menge-lem kelereng kecil berkilau yang ia tempelkan menjadi mata di boneka tokoh kartun. Hela nafas dari kepalsuan dari gemerlap kehidupan. Pekerjaan itu adalah murni untuk menyokong keuangan nya, walaupun Kyungsoo berpikir bahwa ia mungkin telah tumbuh sangat dekat dengan teman kerjanya dan kemewahan dari mainan-mainan itu, kelembutan dari kain bahan boneka itu dibuat, senyum bahagia yang selamanya. Pekerjaan itu cukup untuk sewa dan keperluan lain nya Tetap, itu tidak menjadi masalah karena jam 7 pas semuanya sudah terselesaikan. Di jam 7, ia datang ke bar untuk mengisi melodi yang didiami yang ada didalam jiwanya. Secara teknik waktu adalah tentang bagaimana mengumpulkan perubahan yang serius dibawah kekacau-balauan yang disebabkan oleh orang yang mabuk, tetapi bagi Kyungsoo itu seperti membentuk kata-kata keluar dari udara yang tipis, hembusan dari asap rokok dan rasa tidak suka terhadap musik, menutup mata dan suara keluh yang meredam memeluk tumpukan serbuk kayu yang berada di carpet. Itu tentang renungan-renungan yang menyelip diantara jari tangan dan mengeriting di sekitar jari kaki. Tujuh adalah passion. Sebuah mimpi.

Kyungsoo membiarkan semua tulang badannya sebanyak dua ratus enam jatuh di tempat ia bernafas, “Itu mungkin tidak menyenangkan, aku kira. Tapi susah untuk merasakan ‘ketidak menyenangkan’ itu saat kamu tidak pernah merasakan kesenangan itu sendiri. Perasaan hidup. Yang aku maksud.

“Jadi kamu adalah sebuah mayat berjalan?”

“Lebih tepatnya sebuah fossil berjalan.”

Minseok, teman masa kecilnya dan teman bernyanyi di bar, selalu bergurau bahwa waktu telah berhenti untuk Kyungsoo 4 tahun yang lalu, Ia pasti terus-menerus menjadi 20 tahun. Tetapi itu bukanlah sekedar gurauan, dan buktinya telah lama sekali orang-orang berhenti tertawa.

“Aku pikir itu lucu,” Jongin menerangkan, lalu menjatuhkan puntung rokoknya kedalam kaleng beer sebelum ia mengecap sisa-sisa rasa rokok di bibirnya untuk menghargai cerita Kyungsoo. Kyungsoo mencoba untuk tidak bertanya-tanya bagaimana rasanya. Nikotin dan tembakau membanjiri terigu yang melempem. Ia malah memandang tajam ke arah notepad kepunyaan Jongin, dan garis kecil yang tertulis dengan tinta hitam yang tidak terbaca yang berada di pinggirnya. Jongin menjelaskan bahwa mereka disini untuk sebuah buku yang ia tulis. Sebuah romantisme tentang seorang laki-laki yang menghapus dirinya sendiri disetiap akhir dari harinya. Kyungsoo bertanya tentang keromantisan didalamnya. Jongin berkata dengan tidak ada kecemasan, para penulis dijamin sebagai orang yang menyebarkan omong kosong; hanya perlu membunuh seseorang dan cerita itu akan berakhir romantis.

Mereka bertemu untuk kedua kalinya 20 menit yang lalu, ketika Jongin mengetuk pintu apartemen Kyungsoo dengan sebuah six-pack of Hite dan tulang sendi yang menimbul keluar diantara jari tangan. “Hai, Aku Jongin, tetangga barumu. Kita pernah bertemu sebelumnya” di sisi lain Kyungsoo dengan segera mengambil bukunya dan lalu Jongin berkomentar, “Aku ada di halaman terakhir, aku rasa. Laki-laki yang menggunakan baju setelan.

Kyungsoo memandangi foto itu, lalu berbalik menatap Jongin, kemudian 20 menit berikutnya disnilah mereka: duduk diatas fire escape, berbicara tentang filsafat luas dan sub-ideal romantisme yang membuat kyungsoo tidak bisa diam untuk melihat-lihat pemandangan sekitar. Jari tangan dan bahu mereka saling bersenggolan, yang mana membuat Kyungsoo merasa tidak nyaman, dan lebihnya lagi Jongin terlihat tidak mempedulikan hal itu. Pada kenyataanya, Jongin tidak terlihat seperti tipe orang yang peduli tentang hal apapun.

“Apa yang kamu maksud, itu lucu?”

“Yang lebih pentingnya, bagaimana rasanya terus menerus menjadi 20 tahun?”

Kyungsoo terdiam, “Baik.”

“Tapi bukankah itu mengerikan? Kau terjebak di dalam waktu tetapi waktu itu terus berjalan. Kau tidak bisa mengingat orang-orang yang datang maupun pergi. Dunia berkurang disekitarmu saat kamu terjebak di tengah-tengahnya. Semua teman-teman lamamu pergi ataupun meninggal dan kau tidak bisa mencari pengganti mereka. Kau tidak bisa mencintai. Kau tidak bisa membenci.”

“Lalu mengapa itu lucu?”

“Itu menyedihkan jadi itu lucu,” Jongin mengangkat bahunya, “Orang orang cenderung merasa kasihan , kepada jiwa yang tidak berbahaya sepertimu. Membawa sebuah hal-yang-lebih-berat-dari beban-hidup dengan hal-yang-lebih-kecil-dari ambisi untuk hidup. Seperti menonton seekor semut mati dibawah sebuah gelas berukuran besar dan memekik didalam kegembiraan terhadap kesedihan dari semua itu. Itu hebat. Yaa maksudnya, aku terlalu berlebihan membuat sebuah perumpamaan, tetapi tetap saja itu hebat.”

Jongin pun mematikan rokoknya, dan mereka berdua melihat putaran angin kebawah sampai ke tingkat tiga bersama-sama. Angin berhembus, jongin menghirup udara musim panas dan menghembuskan racun. Kyungsoo mengorek-ngorek jari kaki dan tangannya serta karat yang ada di besi di tangga rumah. Sebelum mengatakan, dengan jelas, sesuatu yang ia sendiri tidak yakin untuk mengatakannya, “Kau terdengar sangat menyedihkan.”

“Semua novelis seperti itu.”

“jadi itu mengapa kau banyak merokok?”

Jongin menulis ‘dengan tidak dapat dijelaskan orang samara yang baik dengan konsekuensi dari keingin tahuan’ di kolom bagian atas, dibawah sifat karakter. Berpura-pura tidak melihatnya, Kyungsoo meminta jongin menjawab atas pertanyaan yang ia tadi sampaikan, secepatnya jongin menjawabnya dengan sebuah pandangan menyeringai, “Kamu tidak perlu tahu. Mengapa kita tidak membicarakan lebih banyak tentang bagaimana kamu bisa tetap—”

“Tidak,” Kyungsoo menolak, “Tidak, aku ingin tahu.”

“Dengarkan, buku ini tentangmu—”

“Percakapan ini tentang kita.”

Jongin menundukkan kepalanya, dan ia terdiam akan sesuatu tentang perasaan sakit di monetar sebelum mengganti wajah muramnya itu dengan sebuah senyum kosong yang membekukan konsentrasi Kyungsoo terhadapnya, “Okay. Tentang kita.”

“Bagaimanapun juga, Aku tidak akan mengingatnya besok,” Kyungsoo mengingatkan nya.

Termangu hingga kerdipan kecil dari warna orens menghilang, Jongin membiarkan kata-kata mengalir keluar dengan berapi-api, “Aku akan ceritakan padamu apa yang membuat aku menyedihkan.” Jongin melihat kesuatu tempat di kejauhan, dan itu adalah saat semuanya jatuh berpisah, “Saya punya idiophatic pulmonary fibrosis. Yang artinya snot akan membanjiri paru-paruku. Aku mati. Itu yang membuat diriku amat sangat menyedihkan, oke?”

Suara dari pejalan kaki , lalu lintas dan juga anak-anak yang sedang bermain tiba-tiba berubah menjadi benar-benar sunyi. Kyungsoo menatap jari tangan orang itu dan merasakan darah menyerang wajahnya, “Aku—aku minta maaf—aku tidak tahu bahwa kamu—”

“Dengan kata lain, tuhan sedang mencekik ku dengan perlahan-lahan. Dalam 3 tahun jantungku akan berat sebelah mencoba untuk memompa oksigen yang cukup keseluruh tubuhku. Aku akan mengalami gangguan organ tubuh. Makan akan menjadi hal yang tidak mungkin karena bagaimana kamu bisa makan semangkuk makanan sedangkan bernafas melalui selang? Dan kau bertanya, mengapa aku merokok? Mengapa aku merokok. mengapa.”

Kyungsoo melihat jemari si penulis menjadi pucat tidak adanya aliran darah. Dia menginginkan ini untuk berhenti. Dia sangat menyesal. Dia menyesal dan tidak mengerti—tetapi Jongin tidak menginginkannya.

“Aku merokok agar cepat mati. Aku merokok jadi saat aku berada di meja rumah sakit saya mati dengan sebuah deru daripada meringis,” Jongin mengangguk, berbicara mengenai kesengsaraan didalam bentuk abu-abu yang tidak bersambungan satu sama lain, “Tetapi ini tidak lucu, asal kau tahu. Ini hanyalah kesedihan biasa. Aku adalah bajingan yang paling menyedihkan di planet ini. Menyedihkan, bukan?” Dan sebuah suara tawa yang garing untuk menyelesaikan kemarahan yang monokromatik, “Tidak, aku hanya…..denganmu. Itu lucu. Itu lucu karena hidupku penuh dengan ini: Kamu pikir kamu melarikan diri, hingga kamu berlari kedalam dirimu sendiri. Dua puluh tiga tahun berikutnya itu semua berubah bahwa jalan yang paling panjang ketika kamu pergi jauh adalah jalan terpendek menuju rumah, dan saya telah berlari dalam lingkaran-lingkaran itu sejak get-go. Sangat kacau, huh?

Tak ada dari mereka berdua yang tertawa, meskipun Jongin mendengus ketika secepatnya Kyungsoo menyelesaikan semuanya dengan lembut, “Aku akan lupa besok.”

Wawancara mereka berlangsung hingga jam 7. Kyungsoo bernyanyi malam ini, seperti malam yang lainnya, tetapi kata-kata dan nada itu keluar dari mulutnya bukan hatinya dan satu-satunya hal yang bisa ia ingat adalah asap rokok. Cairan penyakit terlihat dari jahitan baju jongin.

Dia pulang kerumah pada tengah malam dan menempelkan catatan di dinding, sebuah warna kuning menyala terlihat mencolok ditengah dari semuanya, jadi ia tidak akan melupakannya besok: “Ambil sebuah mainan dari tempat kerja. Letakan di depan pintu apartemen sebelah. (19 Juli 2013)

--

Kyungsoo pulang kerumah dari bar, 2 hari kemudian, ia menemukan sebuah paket berisi Pororo di depan pintunya. Itu mainan yang sama yang ia jahit di tempat kerja, dan jika ia melihat lebih jelas ia hampir bisa yakin bahwa dia yang menempelkan kedua mata nya karena dia satu-satunya yang menangani superglue seperti itu. Di situ ada sebuah kartu ucapan ‘Terima Kasih’ dibawah Pororo yang mengatakan, dengan menggunakan tinta hitam, “Mengasihani sangatlah amat mahal dari seseorang yang tidak bisa peduli.”

Dia tidak tahu apa maksud dari kata-kata itu, tetapi rasa kepedihan di dalam hati nya sangat keras untuk dilupakan. Tiba-tiba semua alunan melodi dan irama berangsur hilang menjadi sebuah kesunyian yang besar sekali. Lebih asam dari kekecewaan, lebih pahit dari kesepian. Malam itu apartemen disebelahnya berdengung dengan kerasnya, Tawa yang tak terkendali yang terdengar seperti sedu-sedan. Sebuah kebisingan dari suara-suara dan obrolan, teriakan tidak jelas dari Luhan Jongin dan Sehun dibawah sedikit dengungan seperti botol scotch dan vodka yang tidak pernah kosong. Saat berjalan melewati apartemen itu untuk membuang sampah, Kyungsoo mendapati sebuah pandangan dari 3 wajah-wajah indah yang melewati batas. Sebuah sorotan tajam berasal dari cahaya lilin, wewangian tajam dari alcohol , parfum dan kemewahan

Apartemennya sendiri terutama sekali terlihat sepi di jam segini. Kegelapan menelan semua dinding dan sudut. Ia kemudian menulis kembali semua catatan kecilnya itu dengan menggunakan catatan berwarna hijau bukannya biru, dan hari Jum’at terlewati dengan jentikan kebisuan dari pulpen gel terhadap kertas berwarna kuning terang.

--

Walaupun secara teknik Kyungsoo tidak bisa mengingat kalau ia pernah bertemu dengan si penulis merokok tetapi pasti rokok itu menjadi rokok yang kelima puluh nya dalam satu jam ini, Kartu ditangan nya mengatakan bahwa mereka seharusnya mempunyai wawancara regular. Lebih dari sekedar kartu, dia tahu bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya. Dan pikiran itu tidak mengagetkan—tidak ada yang benar-benar—boleh jadi karena bayangan kabur karena asap rokok yang membuat semuanya keluar dari fokus: cangkir-cangkir kopi, jendela yang basah, pinggiran catatan kepunyaan si penulis itu yang robek ; perlahan membuat semuanya hilang,kepudaran dari semua sorot cahaya berubah menjadi sinar dan semua sudut menjadi membelok.

Si penulis itu merokok. Dengan tergesa-gesa, dan Kyungsoo merasakan aura dari alien satu ini, sensasi seperti gelas kosong saat menontonnya. Seperti pecah perlahan , lebih dalam, tidak dapat diubah bersama nya.

Kedai kopi di dimalam hari tanggal 21 Juli terdengar sedikit gaduh yang berasal dari cangkir yang terbuat dari porselin yang luar biasa, pembicaraan yang membosankan yang terus menerus terdengar dari siswa-siswi yang kelelahan dan whip krim lumer kedalam cappcuccino. Itu tidak sekeras biasanya, tetapi suara seperti pasir hisap yang menghisap seseorang. Menenggelamkan mereka perlahan dan tidak meninggalkan apapun kecuali kuku di ujung jari dan gelembung udara merusak dataran.

Kyungsoo hampir mempunyai sebuah pertanyaan apakah semua penulis terlihat seperti ini, dengan kantung mata yang terlihat seperti luka memar dan corak kulit nampak kuning ke putihan dan kadang-kadang bercampur menjadi cokelat. Pertanyaan itu runtuh segera setelah si penulis itu meletakkan tangannya diatas meja dan menadapati pandangan Kyungsoo. Cukup lama, batas yang sulit dari sepasang mata yang bertemu satu sama lain.

“Kamu baik-baik saja? Penulis itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Jongin, bertanya dengan cepat.

Jongin tidak terlihat seperti mempunyai waktu atau kesabaran untuk menerima pilihan yang lain, jadi Kyungsoo hanya mengangguk, “Ya. Aku baik-baik saja.”

“Ceritakan padaku tentang kejadian 4 tahun yang lalu. Oke, atau kemarin, ya se ingat mu saja,” Jongin mendesak. Ada kegelisahan didalam suara nya. Kyungsoo tidak bisa membantu tetapi menyadari ia tidak mempunyai pengetahuan tentang balutan di buku jari si penulis itu. Warna ungu dan hijau corengan disekitar pergelangan tangannya. Dan tiba-tiba ia heran jika itu semua adalah ciri dari seorang penulis, mata yang sedang marah itu, darah di buku jari dan sentak kan yang tidak sadar.

“Itu hanya sebuah kecelakaan biasa,” Kyungsoo berkata. Meskipun ia tidak bisa mengingat hari-hari telah terlewati dari malam yang tidak biasa, bagaimanapun juga ke kagetan tidak lagi terlihat, “Waktu itu saya pulang kerumah dari tempat bekerja—yang mana aku bekerja sekarang, tertabrak oleh sebuah truk berisi buah-buahan. Truk itu membawa buah apel. Apel merah.

“Kamu selalu bekerja di pabrik itu?”

“Sejak umur saya 18 tahun. Saya bekerja disana segera setelah menyelesaikan sekolah SMA. Ibu saya meninggal dan ayah saya sakit jadi saya harus membiayai hidup sendiri.”

“Ya., Oke” Jongin memotong. Kyungsoo bisa melihat tampilan kemarahan dari wajah sang penulis dan ingin protes sayangnya tidak jadi, itu bukan hanya sebuah cerita pembangkit iba tentang anak kecil yang sedang bermain pahlawan-pahlawanan. Tetapi itu sebuah cerita tentang keluarga, kehangatan dan kue kering yang-susah-dibuat di sisi tempat tidur dan menghitung tetesan IV dan berdoa untuk karakter kartun untuk sebuah kebahagiaan

Tetapi Jongin tidak mood untuk memng-iya kan klarifikasi apapun, “Jadi jika kamu bukan manusia yang mempunyai tanggung jawab, akankah kamu menjadi seorang penyanyi?”

“Aku kira begitu.”

“Lalu kau tertabrak oleh sebuah truk. Keberuntungan yang hebat,” Jongin menyindir dan menulis sesuatu diatas notepad nya. Dengan marah nya.

Kyungsoo menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan buruk. “Apa… kamu marah?”

“Tidak,” Jongin menjawab, dengan nada yang terlalu cepat. Kyungsoo jatuh dikesunyian sedangkan Jongin membaca pertanyaan berikut nya, dan jarang sekali melihat ke pulpen nya, “Bagaimana kamu bisa melakukan kegiataan sehari-harimu? Semua detail nya.”

“Biasanya, aku mengambil fotodari orang-orang baru yang aku temui, menaruh nya didalam sebuah buku catatan dan daftar hal apa yang aku telah pelajari tentang mereka. Aku membaca nya kembali di pagi hari dan memperbaharui nya di malam hari. Hal lainnya, aku tulis di dinding, dan perencaanaanku. Hal atau tugas yang sifatnya sementara aku tulis di catatan temple dan menempelkannya di manapun. Biasanya di dinding kamarku.” Kyungsoo menatap tajam kearah kopi nya, dan berbalik lagi ketika tidak ada yang berubah kecuali suara yang ditimbulkan dari pulpen yang bekerja di atas kertas.

“Apakah kamu merasakan kamu harus mepelajari ulang beberapa hal? Seperti misalnya mengetahui bagaimana caranya kamu untuk berjalan ke kedai kopi hari ini, karena keesokan hari kamu akan lupa bagaimana caranya berjalan untuk sampai kesini lagi?”

“Yeah, tidak. Aku bisa mengingat jawabannya. Aku hanya tidak bisa mengingat untuk mempelajari mereka. Besok aku tidak akan ingat berjalan kesini bersama mu. Aku hanya akan ingat di mana tempat ini berada.”

“Baik sekali.”

“Apakah kamu benar-benar tidak marah?”

“Tidak.”

“Sungguh?”

“Dengarkan. Kita disini menulis buku tentangmu. Sebuah buku tentangmu. Ayolah jangan berbicara tentang saya, oke?”

“Mengapa kamu marah?”

Jongin meregangkan bahunya dan menjatuhkan buku catatan nya, pulpen, semuanya dengan bunyi yang ramai. Menggosok kasar tangan nya dengan sisi diri nya yang kusut, ia memandangi Kyungsoo dengan tatapan kemarahan. Mungkin dia mencium sedikit rasa bersalah yang berasal dari kesombongan seraya ia memberengut, “Persoalan. Oke? Orang dengan ingatan yang sesungguhnya mempunyai persoalan.”

Kyungsoo tidak mengerti terhadap kesabaran Jongin, “Jika kamu butuh seseorang untuk berbicara tentang persoalan, kamu pasti tahu kalau saya—”

“Kau adalah orang yang sempurna, tentu saja, karena tidak ada yang akan pernah membuat kau terbebani karena kau tidak akan mungkin pernah mengingat, betul kan?

Ada perasaan tidak jelas di dalam diri Kyungsoo mungkin saja itu karena ia telah mengatakan kalimat sebelumnya terlalu sering. Mungkin juga mereka pernah berada disituasi seperti ini sebelumnya: Jongin gagal dan tersobek-sobek diatas pagar seni dan kenyataan, Kyungsoo bingun gdan takut, mencoba membantu jongin untuk diam tetapi tidak mengetahui bagaimana caranya.

“Aku minta maaf.” Ia berkata, akhirnya, ketika Jongin telah berhenti retching for oxygen. Kyungsoo tidak mengalihkan pandangan nya kearah Jari tangan Jongin yang gemetar, “Kamu benar. Aku minta maaf jika aku telah menanyakan hal ini kepadamu sebelum nya dan aku hanya mengingatkanmu tentang sesuatu yang tidak mengenakan, Aku benar-benar tidak bermaksud—”

“Ini tentang tangan,” Jongin tiba-tiba berkata. Itu mengambil waktu yang cukup lama bagi Kyungsoo untuk mengenali suara Jongin karena terlalu kecil, monoton dan sangat tenang. Itu tidak seperti biasanya .

“Dengar. Hidupku adalah tentang tangan. Tentang mendorong kedua tanganmu yang memakai cincin berlian kebawah arah kerongkongan ku. Ini tentang memarut jiwaku dengan sepasang sarung tangan mu yang mahal. Ini semua tentang kedua tangan. Kuku yang menggambarkan darah. tinta-goresan sidik jari dibawah paha. Buku jari yang menghancurkan bayangan dibelakang selembar lapisan tipis dari cat dan kaca, Tangan, tangan, tangan.”

Menyeruput kopi dan Kyungsoo memberikan sebuah seringai meminta maaf, “Aku masih benar-benar tidak…”

“Aku mati, oke?

Kyungsoo merasakan jantungnya jatuh terjerembab seketika Jongin meneruskan perkataannya, dengan kematian rasa dari seorang laki-laki yang pernah diberitahukan hal yang sama dalam beribu-ribu kali, “Aku akan mati dalam waktu tiga tahun, mungkin dua. Kemungkinan kurang dari itu. Tapi kau tahu, orang-orang tidak akan mencintaiku saat aku mati. Itu kenyataan. Orang-orang mungkin mengasihaniku. Memujaku. Mengatakan bahwa aku adalah seorang yang jenius, bersuka ria didalam pertunjukan seni yang hebat yang mana adalah hidupku. Dan apa yang aku lakukan dengan semua itu? Apa aku bisa menjual nya? Apa aku bisa mempunyai sebuah masa depan dan sebuah rumah berwarna putih bersih dan berdebat tentang tanaman apa yang akan diletakan di taman depan rumah dengan kalimat-kalimat kasihan yang keluar dari mulut mereka?”

Kedua mata Jongin berubah merah. Bibirnya memucat. Kesunyian adalah hitam.

“Kau tahu apa yang aku pikirkan.” Kyungsoo tidak tahu tentang apa yang ia katakan, hanya sebuah firasat yang seharusnya ia mungkin tidak mengatakannya semua— tetapi kata-kata yang keluar dari mulut mereka, “Aku pikir kamu hanya takut.”

Jongin tidak berbicara untuk waktu yang lama, dan ketika ia berbicara, ia tidak menatap ke buku catatan nya lagi, “Lalu jika kau bisa menahan ingatan dari bagaimana caranya melakukan sesuatu, apa kau juga bisa menahan perasaan? Jika kau merasakan jatuh cinta dengan seorang perempuan hari ini, akankah kau tetap mencintai nya besok?”

“Entahlah,” Kyungsoo menggigit bibir bawahnya lagi, “Tetapi aku kira jika aku tidak bisa mengingat melakukan apapun dengannya, maka aku tidak bisa—kamu tidak akan bisa mencintai seseorang yang kau tidak punya kenangan bersamanya, benar kan? Bukankan cinta berdasar dari kenangan dan tindakan?”

“Benar.”

Kyungsoo gelisah, “Kamu masih marah.”

“Tidak.”

“Kau—aku—bukanlah temanmu—ataupun terapismu—atau—aku kira aku bahkan tidak memenuhi syarat sebagai seorang kenalan tetapi—Jongin,” Kyungsoo gagap, tidak yakin degan apa yang ia katakan, “Kamu bisa berbicara kepadaku. Aku tidak akan menilaimu. Aku tidak bisa mengatakan aku mengerti segalanya tapi aku—hanya—tidakkah kamu merasa lebih baik jika—”

“Diam,” Jongin memberhentikan, kedua matanya masih tergoda ole lubah yang terbakar di dalam buku catatannya, “Jangan menceramahiku.”

“Tidak, Jongin aku hanya—”

“Kau tidak punya hak untuk berasumsi tentang apa yang membuatku merasa lebih baik karena kau tidak mengerti perasaan sakit, bukankah kau? Apa yang membuat kau berpikir bisa mengkritikku? Kau bahkan tidak bisa mencintai. Kau sudah katakan itu tadi. Kau tidak bisa mencintai jadi kau tidak bisa tersakiti, bukankah kau? Besok kau akan bangun dan semuanya akan sangat benar-benar baik. Semuanya akan benar-benar sangat baik seperti biasanya dan hey, apa kah kau pernah berpikir bahwa kau hanya bisa senang di setiap harinya karena kau akan lupa tentang semua waktu ketika kau telah menyakiti orang lain? Apakah kau pernah berpikir tentang itu? Bagaimana jika kau kemarin menyakiti seseorang? Setidaknya orang normal punya perasaan bersalah. Kau tidak bisa merasakan apapun, tidak bisa mengerti masalah, Do Kyungsoo, karena—kau, adalah, hanya, sebuah, mayat berjalan.”

Saat Kyungsoo merasakan sesuatu mengalir dari dalam kedua matanya, Jongin sudah membantingkan buku catatannya kebawah dan pergi dari kafe.

Dan itu berubah bahwa sesungguhnya tidak ada yang tertulis didalam catatan itu , hanya gumpalan tinta didalam halaman yang sobek.

--

“Kau terlihat menyedihkan,” Minseok berkomentar suatu hari, suatu waktu diakhir juli, ketika buncis merah tidak lagi cukup untuk menghangatkan. Saat mereka menunggu musisi untuk membuka alat musik dan lagu mereka, dia merbelok kea rah Kyungsoo dengan alis melengkung, “Apa yang terjadi?”

Kyungsoo mengernyitkan dahi nya, berpikir kembali dimana saat ia bangun dari kasur pagi ini, dan menggelengkan kepalanya, “Tidak ada. Aku hanya mempunyai hari yang begitu normal. Kenapa?”

“Entahlah,” Minseok mengangkat bahunya, “Kau hanya terlihat pendiam.”

Seraya Kyungsoo menggigit bibir nya dan bingung terhadap mengapa ia bisa terlihat diam saat semua orang benar-benar beramah-tamah, Minseok berbincang dengan Zitao tentang bagaimana si penulis kaya raya yang tidak terlihat untuk beberapa hari ini di bar.

Mereka bernanyi lagu biasa mereka, beberapa improvisasi baru, sebelum Kyungsoo menyadari bahwa Minseok benar. Hatinya tidak pada music.

--



Malam tersibak oleh sepasang deruan motor dan obrolan manusia terhadap figure Kyungsoo yang tak bergerak. Tengah malam telah terlewati sejam yang lalu, dan kedua matanya terbakar dengan kepenatan, tetapi Kyungsoo tidak bisa tertidur, jadi disinilah ia, menggigit bibirnya dan membolak-balik scrapbook nya.

Di beberapa poin ia menyadarinya, ia mulai menghitung jumlah foto-foto baru ke jumlah foto-foto yang telah hilang. Dan kekecewaannya, hampir semua dari teman lama SMA nya telah pergi jauh, dan ia belum membuat catatan baru diatas foto-foto mereka sejak satu tahun yang lalu. Ia mencoba untuk menelpon nomor lama Baekhyun, dan tentu saja, itu diluar jangkauan. Itu mungkin sudah diluar jangkauan untuk sebulan, setahun. Atau berapa lama?

“Hey.’ Sebuah suara keluar dari kegelapan. Kyungsoo meloncat sejauh satu meter setengah dan hampir menjerit.

Tetapi entah bagaimana sosok yang berdiri di balcon samping apartemennya itu tidak terlihat se tidak biasa itu. Dia mempunyai sebuah senyuman canggung, seperti secara fisik tersakiti sehingga merubah wajahnya menjadi seperti itu, “Apa yang kau lakukan disitu?”

Kyungsoo ragu-ragu mengatakan sebenarnya. Toh Ia melakukan nya, “Menghitung jumlah orang-orang yang telah hilang kontak dariku.”

“Dan?”

“Cukup banyak,” dan ia terasa benar-benar seperti sedang terisak. Jarak kegaduhan dari pertemanan , tertawaan dan persahabatan, hal-hal yang ia tidak lagi miliki, mendorong air matanya keluar dan ia menoleh kearah goresan diatas bukunya. Yang lama, senyum yang memudar dan rasa sakit meresap kedalam satu molekul satu waktu. Ia tidak ingin menangis, dan ia tidak tahu mengapa ia menangis, “Baru kemarin aku…aku berteman dengan mereka semua tapi… itu tertulis disini bahwa…. Mereka pergi jauh? Mereka pergi? Mereka hilang? Kenapa? Apakah aku benar-benar sendiri?”

Lelaki di balkon samping bernafas kabut dan awan gemerlapan, menyembunyikan sebuah tawa mencekik, “Yeah. Kau benar-benar sendiri. Kita semua sendirian, kecuali kau tidak hidup cukup lama untuk menyadarinya.”

Kyungsoo menundukkan kepalanya dekat ketangannya dan menangis, tangisannya kali ini lebih keras dari tangisan yang ia pernah keluarkan sebelum nya, dan ia tahu mengapa ia menangis karena hal ini bukanlah semacam rasa sakit yang bisa dilupakan saat esok hari

Ia tidak melihat kebingungan dari wajah lelaki itu, tidak mendengar rokok si lelaki itu jatuh diantara jari tangannya ke tiga lantai dibawah.

--

Keesokan paginya Kyungsoo terbangun dengan mata membengkak dan sisa rasa masam dari mulutnya. Ditangannya ada scrapbook miliknya nya yang ia pegang, sobekan kertas diantara jari tangannya dan dinding bertempelkan catatan kecil berwarna hijau yang membuat ia benar-benar sakit.

--

“Aku bukan seorang yang baik. Aku belum pernah menjadi itu,” Seorang asing di lift memulai pembicaraan saat Kyungsoo tersandung didalam. Kyungsoo hampir menyentak, kecuali bagaimanapun juga ia tidak terkejut mendengar suara itu. Suara sengau dan serak disetiap kalimat yang keluar. Seperti sebuah keengganan, malu-malu dan secara naif walaupun hanya kata-kata ia keluarkan “Aku telah menyakiti semua orang yang telah benar-benar membantuku. Bahkan diriku sendiri. Aku adalah seorang pengecut, dan ku buang jauh-jauh hal itu dari orang lain karena… aku takut untuk mengakui nya.”

Kyungsoo nods, and takes in everything about this man before him—the loosened tie, the heavy shadows under his eyes and the caved cheeks, the hunched back, the painful elevations of his chest, straining against a white-pressed shirt. Somehow his swollen eyes the taste of battery acid that wouldn’t wash out with mugs of milk disappears so easily. His heart clenches as he reaches out and touches the man’s arm, “You’ll be okay.”

Kyungsoo mengangguk, dan mengamati laki-laki disamping nya—dasi yang terpasang longgar, kantung mata yang terlihat jelas dan kedua pipi yang turun, punggung yang bungkuk, membusungkan dada yang terlihat menyakitkan, ketegangan terlihat pada kemeja putih yang ketat. Bagaimanpun juga matanya yang bengkak, rasa asam yang tidak akan hilang dengan cepat dengan dibersihkan oleh satu gelas besar susu . Jantungnya berdetak kencang saat ia menyentu tangan laki-laki itu, “Kamu akan baik-baik saja.”

“Nama saya Jongin.”

Kyungsoo mungkin tidak mendengar suku kata yang terakhir. Tetapi tetap, nama itu tidak asing di bibirnya saat ia mengucapkan kata itu, “Jongin.”

“Saya seorang penulis.” Jongin berkata, dan pintu lift terbuka secara cepat. Kyungsoo tidak bergerak. Seakan mereka senang berada di kediaman, suara gemuruh dari ventilator dan suara nafas mereka yang tak menentu. Dan setelah pintu lift tertutup kembali, Jongin menceritakan sebuah cerita tentang seorang anak laki-laki yang jatuh cinta terhadap menari, dan seorang penari, dan jatuh cinta terlalu dalam, terlalu cepat. Sebuah cerita tentang seseorang bernama Jongin yang terinjak-injak dibawah harapan dan tekanan dan membuat ia putus asa dan akhirnya berhenti mencintai orang lain, dirinya , kegemaran dan cita-cita. Itu bukanlah sebuah cerita yang panjang, dan itu berakhir dengan sebuah cerita baru.

“Lalu laki-laki itu menjadi seorang penulis, dan ia telah menulis tentang penari itu yang ia cintai dan pergi meninggalkan nya. Ketidakbersalahan meremukkan kedua tangannya, yang tak bisa diacuhkan. Orang-orang berkumpul dan membayar untuk pesta mengasihani dan itu membuat laki-laki itu menjadi kaya, terkenal dan menyedihkan—seseorang memanggilnya menyedihkan, sekali—dan ia telah menulis lebih banyak tentang mimpi yang merusak dan keputus-asaan dan menonton cahaya bulan dari dalam bawah sumur, dan itu membuatnya menjadi lebih kaya dan lebih menyedihkan dan lebih terkenal, dan secepatnya tuhan memutuskan mengelurarkan laki-laki itu dari kesengsaraan. Tetapi dia harus menulis satu buku lagi, karena dia menjadi seorang bajingan yang hidup dalam penderitaan. Parasit bergantungan pada orang lain dari penderitaan yang berjalan dari tulang.

Lift terbuka. Kali ini Kyungsoo maju selangkah, dan membuat Jongin dibelakng nya. Langkah mereka membentuk suatu Ritme yang baik.

“Dan ia bertemu dengan seorang yang biasa saja tetapi menarik perhatiannya, yang pada kenyataanya meminta untuk dituliskan sebuah buku. Semuanya yang ada pada dia menyedihkan, tetapi dia sangat bahagia mengejar mimpi yang yang tidak mungkin terjadi. Dia bekerja di sebuah toko dan ingin menjadi seorang penyanyi—meskipun dia tidak bisa mengingat apapun. Dia mempunyai amnesiac memaksakan dirinya untuk bebas diakhir setiap harinya dan dia menolak untuk menurut. Seseorang yang berjuang terhadap kehilangan yang mempunyai banyak rintangan, untuk sebuah akhir yang manyedihkan. Itu lucu, seperti menonton seekor hamster berlari sampai mati didalam sebuah roda putar, untuk sebuah jalan keluar yang tidak ada.

“Mereka bertemu suatu hari di bulan juli. Hari dimana penulis itu mengetahui ia akan mati. Ia mengundang laki-laki itu ke rumahnya, dimana mereka menyalakan kipas angin yang sangat besae dan membiarkan uang itu berhamburan keluar jendela— big crisp bills. Hari itu si penulis sangat marah dan cemburu kepada dunia, dan ia ingin menunjukkan kepada laki-laki yang mempunyai amnesia itu bahwa ia tidak akan pernah mencapai mimpinya. Dan menjadi seorang penyanyi adalah hal terbodoh yang pernah ada di planet menyebalkan ini untuk seseorang yang bahka tidak bisa hidup, tidak pernah bisa mengalami cinta, kehilangan, kesakitan ataupun kebahagiaan. Soal lako-laki itu menjadi seorang penyanyi adalah seperti sebuah robot berbicara tentang menulis lagu-lagu cinta. Menggelikan dan sangat amat menyedihkan.”

“Jongin ingin menunjukkan seberapa kaya ia, bagaimana mengagumkannya kehidupan bisa terjadi setelah kehilangan jiwanya dan menyerah akan segalanya. Ia adalah seseorang yang lebih peduli tentang menjaga kebanggaan yang kosong daripada hidupnya sendiri. Orang-orang bilang pesta besar-besaran dengan menara sampanye dan air mancur dari cokelat membuat seseorang bahagia, jadi Jongin melakukan dan mengulangi hal itu semua, dan orang-orang bilang dia bahagia. Dia amat sangat bahagia—”

“Laki-laki dengan amnesia itu tidak bisa melihatnya. Jadi begini, laki-laki ini bahkan tidak bisa mengingat bahwa ia telah kehilangan sahabat karib dan orang tuanya , laki-laki ini hidup dari uang tip dan beberapa sen, semacam cacing tanah yang paling menyedihkan, dan ia benar-benar tidak bisa mengerti saat kepuasaan menutupi wajahnya. Kebanggaan, popularitas, kekayaan, kekuatan, status. Segalanya yang Jongin sendiri—lakukan—untuk dirinya.”

Jongin menggaruk-garuk rambut kepalanya, menggigil walaupun cuaca panas.

“Saat saya menyadari bahwa itu bukanlah karena kau bodoh. Itu karena saya, Kim Jongin adalah seorang yang tolol. Seluruh waktu yang saya lakukan adalah hanya mencoba untuk membuktikan kepada diri saya sendiri bahwa saya bahagia, dan melakukan hal yang benar. Saya pindah ke apartemen yang sempit yang mana kamu tinggali bukan unutk sebuah inspirasi tetapi untuk menyaksikanmu menderita. Unutk menegaskan bahwa kamu sedang menderita. Saya menyaksikan kau bernyanyi setiap malam dan berdoa agar kamu merusak lagunya dan keluar dari nada dan dilempari oleh botol beer. Saya berusaha untuk merusak cangkang kebahagiaanmu yang kecil karena—karena—saya…saya hanya ingin seseorang bersama saya. Hanyut bersama. Tetapi kau tidak tenggelam. Saya telah salah. Saya salah, dan seorang yang benar-benar tolol.”

“Tetapi kamu bukanlah seorang yang tolol.” Kyungsoo memotong pembicaraan.

Mereka berdua bersandar di atas pagar di balkon kecil milik Kyungsoo. Kyungsoo membungkuk, mengagumi bayangan miring dari rumput, dengan kedua tangan melipat diabawah dadanya dan kepala bobbling adakalanya. Jongin berada disampingnya, menopang sikunya dan menatap kearah lain, kaki menyilang dan padangan kea rah bintang seraya Kyungsoo berbisik, “Kamu hanya tersesat.”

Jongin melihat kearah laki-laki itu untuk pertama kali, sungguh dari bawah bulu matanya. Cahaya bulan menyinari wajah Jongin, pencahayaan yang sangat terang menyinari lipatan baju dan kulit yang terbungkus kain baju, dan Kyungsoo berpikir bahwa Jongin sangatlah lemah seperti saat ini, sangat amat indah.

“Saya akan lebih tersesat. Tersesat dan tersesat lalu,” Jongin berbisik, “Suatu hari, poof, saya akan pergi. Saya akan pergi kedunia seperti foto-foto yang ada diadalam scrapbookmu itu. Dunia tidak akan mengingat telah kehilangan saya.” (Poof itu sama seperti “gay” )

Suara Kyungsoo memecah kesemua penjuru ditempat itu dan kuku-kuku menjadi berkarat saat ia akhirnya berbiacar, “Tidak, jangan pergi poof.”

Jongin mendengus, ketidakpedulian semacam cemooh yang kau keluarkan, dan membuat Kyungsoo ingin memeleuhknya dan berteriak bahwa ia peduli, dan ia bersungghu-sungguh—Do Kyungsoo tidak akan memperbolehkan Kim Jongin untuk menjadi poof. Kecuali ia tidak tahu mengapa ia peduli, dan Jongin mungkin benar. Dia mungkin hanya mengatakannya saja. Dia mungkin tidak peduli. Dia tidak benar-benar mengetahuin si Kim Jongin itu, secara keseluruhan, tidak bisa mengingat kenangan apa saja yang telah terjadi diantara mereka berdua



“Aku hanya ingin benar-benar mengingatmu, bahkan untuk satu menit lebih…”

Tetapi jika saja hal itu sesederhana seperti hal lain, dadanya tidak akan sesakit ini.

Bahu mereka saling bersentuhan satu sama lain, tetapi tidak ada dari mereka berdua mencoba menjauh.




No comments:

Post a Comment